Sunnah, Hikmah dan Etika Menjilati Tangan Sesudah Makan
Label:
KEAGAMAAN
by Unknown
Sabtu, 22 November 2014
Sunnah, Hikmah dan Etika Menjilati Tangan Sesudah Makan
Oleh: Badrul Tamam
Salah
satu karakteristik Islam yang menonjol adalah bersifat universal yang
mencakup segala aspek kehidupan manusia. Menyentuh segenap dimensi
kehidupan. Mengatur manusia dari semenjak bangun tidur hingga tidur
kembali. Merambah pada pensyari'atan dari semenjak manusia dilahirkan
hingga ia dikuburkan. Dan seorang muslim diperintahkan untuk mengamalkan
universalitas Islam secara total, tidak boleh dia mengambil sebagian
dan meninggalkan yang lainnya.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً
"Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya." (QS. Al Baqarah: 208)
"Apakah
kamu beriman kepada sebahagian Al Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap
sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian
dari padamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari
kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat." (QS. Al Baqarah: 85)
Salah satu contoh dari universalitas ajaran Islam adalah bahwa Islam mengatur persoalan makan dan minum. Banyak hadits Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
yang memberikan tuntunan dalam hal ini. Darinya, para ulama menyusun
adab-adab makan dan minum dalam kitab-kitab mereka. Sehingga semakin
mudahlah kita untuk memahami dan mengamalkan tuntunan Islam dalam
masalah ini. Di antaranya, membaca basmalah sebelum makan, makan dengan
tangan kanan, makan dengan duduk, tidak bersandar ketika makan, tidak
mencela makanan, dan selainnya.
Ada satu
adab makan yang kurang diperhatikan. Bahkan, terkadang jika diamalkan
banyak umat Islam yang mencibirnya, padahal hadits cukup jelas
menjelaskannya. Yaitu menjilati tangan dan piring sebelum mengelap atau
mencucinya agar tidak ada makanan yang tersisa.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
إِذَا
أَكَلَ أَحَدُكُمُ الطَّعَامَ فَلاَ يَمْسَحْ يَدَهُ حَتَّى يَلْعَقَهَا
أَوْ يُلْعِقَهَا وَ لَا يَرْفَعَ صَحْفَةً حَتَّى يَلْعَقَهَا أَوْ
يُلْعِقَهَا، فَإِنَّ آخِرَ الطَّعَامِ فِيْهِ بَرَكَةٌ
"Apabila
salah seorang kamu makan makanan, janganlah dia mengelap tangannya
hingga menjilatinya atau meminta orang menjilatinya. Dan janganlah dia
mengangkat piringnya hingga menjilatinya atau meminta orang untuk
menjilatinya., karena pada makanan terakhir terdapat barakah." (HR.
Bukhari no. 5465; Muslim no. 2031, Abu Dawud, Nasai, Ahmad dan lainnya.
Dishahihkan oleh al Albani dalam al Silsilah al Shahihah: 1/675)
Syaikh
Nashiruddin al Albani mengatakan, "dalam hadits ini terdapat adab yang
indah di antara adab-adab makan yang wajib. Yaitu menjilati jari-jari
dan mengelap piring dengan jari-jari. Yang dimaksud wajib adalah karena
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkannya dan melarang meninggalkannya. Maka jadilah seorang mukmin yang selalu melaksanakan perintahnya shallallahu 'alaihi wasallam dan
meninggalkan larangannya. Janganlah dia menghiraukan para pencela yang
selalu menghalangi manusia dari jalan Allah, baik mereka menyadarinya
atau tidak."
Pada
hari ini, banyak kaum muslimin meninggalkan sunnah ini karena
terpengaruh dengan tradisi dan budaya orang-orang Eropa yang kafir.
Yaitu tradisi dan budaya yang didasarkan pada prinsip materialistik yang
tidak mengenal penciptanya dan bersyukur kepada nikmat-nikmat-Nya.
Karenanya, seorang muslim harus berhati-hati membebek mereka dalam
tradisi dan budayanya, jangan sampai dia menjadi bagian mereka
berdasarkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam: "siapa menyerupai suatu kaum maka dia bagian dari mereka." (HR. Ahmad, Abu Dawud dan dishahihkan Ibnu Hibban. Sedangkan Syaikh al Albani menghasankannya dalam al Misykah)
Dalam
realita, terkadang kita dapati adanya kaum yang sudah rusak akalnya
mencela orang yang melaksanakan sunnah ini. Mereka menyangka bahwa
menjilati jari-jari adalah tercela. Seolah-olah mereka tidak tahu bahwa
makanan yang tersisa di tangan atau piringnya bagian dari yang mereka
makan. Jika seluruh makanannya tidak buruk, maka bagian darinya tentu
juga tidak buruk. Tindakan ini tidaklah lebih besar bila dibandingkan
dengan dia menghisap jari-jarinya dengan kedua bibirnya. Bagi orang
berakal, tidak akan ragu bahwa hal sunnah ini tidak apa-apa. Bahkan,
terkadang seseorang ketika berkumur dia memasukkan tangannya ke mulutnya
dan menggosok-gosok giginya dan bagian dalam mulutnya. Dan nyatanya
tidak ada orang yang berkata itu menjijikkan atau tidak layak dilakukan.
. . Maka jadilah seorang mukmin yang selalu melaksanakan perintahnya shallallahu 'alaihi wasallam dan meninggalkan larangannya.
Janganlah dia menghiraukan para pencela yang selalu menghalangi manusia dari jalan Allah, baik mereka menyadarinya atau tidak. . (Syaikh al Albani)
Cara menjilat tangan
Diriwayat al Thabrani dalam al Ausath, dari hadits Ka'b bin 'Ujrah, "aku melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
makan dengan tiga jari; yaitu ibu jari, telunjuk, dan jari tengah.
Kemudian aku melihat beliau menjilati ketiga jarinya tersebut sebelum
mengusapnya. Jari tengah dulu, lalu jari telunjuk, kemudian ibu jari.
Hikmahnya, karena jari tengah lebih kotor karena lebih panjang sehingga
sisa makanan lyang menempel lebih banyak dibandingkan jari yang lain.
Karena panjang, sehingga lebih dulu jatuh ke makanan. Boleh jadi, yang
dijilat dulu adalah bagian dalam telapak lalu ke bagian luarnya. Dimulai
dari jari tengah, lalu berpindah ke jari telunjuk dan berakhir ke ibu
jari.
Menjilati
jari-jari bisa dilakukan sendiri atau meminta orang dekatnya, seperti
istri, anak, atau orang tua untuk menjilatinya. Hal ini sebagaimana yang
disebutkan dalam hadits di atas, " Dan janganlah dia mengangkat
piringnya hingga menjilatinya atau meminta orang untuk menjilatinya.,
karena pada makanan terakhir terdapat barakah."
Syaikh Ibnul Utsaimin rahimahullah berkata
tentang hal ini, " mengenai menjilati jari sendiri maka ini adalah satu
perkara yang jelas. Sedangkan meminta orang lain untuk menjilati jari
kita adalah sesuatu hal yang mungkin terjadi. Jika rasa cinta suami
istri itu sangatlah kuat, maka sangatlah mungkin seorang istri menjilati
tangan suaminya, atau seorang suami menjilati tangan istrinya. Jadi hal
ini adalah suatu hal yang mungkin terjadi."
Menjilati jari-jari bisa dilakukan sendiri atau meminta orang dekatnya, seperti istri, anak, atau orang tua untuk menjilatinya.
Hikmah menjilat tangah dan piring
Perintah
untuk menjilati sisa makanan yang menempel pada tangan dan piring
sebelum dibersihkan, baik dengan dilap atau dicuci, memiliki beberapa
alasan. Dalam beberapa hadits disebutkan dengan jelas, yaitu untuk
meraih berkah makanan. Namun bukan berarti hadits-hadits itu membatasi
hikmah lainnya.
Sesungguhnya
makanan yang kita santap mengandung barakah. Namun kita tidak
mengetahui letak keberkahan tersebut. Apakah dalam makanan yang sudah
kita santap, ataukah yang tersisa dan melekat di jari, ataukah yang
tersisa di piring, ataukah berada dalam suapan yang jatuh ke lantai.
Karenanya kita harus menjaga hal ini agar mendapat barakah.
Ibnu Daqiq al-'Ied rahimahullah,
berkata, "alasan tentang hal ini sangat jelas dalam beberapa riwayat.
Yaitu, "karena dia tidak tahu pada makanan mana terdapat barakah."
Dalam riwayat Muslim, di ujung hadits Jabir diterangkan:
إِذَا
سَقَطَتْ لُقْمَة أَحَدكُمْ فَلْيُمِطْ مَا أَصَابَهَا مِنْ أَذًى
وَلْيَأْكُلْهَا ، وَلَا يَمْسَح يَده حَتَّى يَلْعَقهَا أَوْ يُلْعِقهَا ،
فَإِنَّهُ لَا يَدْرِي فِي أَيّ طَعَامه الْبَرَكَة
"Jika
makanan salah seorang kalian jatuh, hendaklah diambil dan disingkirkan
kotoran yang melekat padanya, lalu memakannya. Dan janganlah dia
mengusap tangannya (membersihkannya) sehingga menjilatinya atau."
Dalam riwayat al Thabrani dari hadits Abu Sa'id disebutkan, "karena dia tidak tahu pada makanannya yang mana dia diberkahi." (Musli juga meriwayatkan yang serupa dari Anas dan Abu Hurairah).
Syaik
Ibnu Utsaimin mengatakan, “selayaknya piring atau wadah yang dipakai
untuk meletakkan makanan dijilati. Artinya jika kita sudah selesai
makan, maka hendaknya kita jilati bagian pinggir dari piring tersebut
sebagaimana yang diperintahkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena kita tidak mengetahui letak keberkahan makanan." (Syarah Riyadhus Shalihin Juz VII hal 245)
Sesungguhnya makanan yang kita santap mengandung barakah. Namun kita tidak mengetahui letak keberkahan tersebut. Apakah dalam makanan yang sudah kita santap, ataukah yang tersisa dan melekat di jari, . .
Hikmah
lainnya, agar tidak tumbuh sifat sombong dalam diri dengan meremehkan
makanan yang sedikit dan menurut kebiasaan dianggap sesuatu yang remeh.
Al Qadli 'Iyadh berkata, "Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan hal itu agar tidak meremehkan makanan yang sedikit." (Dalam al Fath)
Syaikh Ibnul Utsaimin dalam Syarh Riyadhus Shalihin
mengungkapkan hikmah lainnya dari sisi medis, "Ada orang yang
menyampaikan informasi kepadaku yang bersumberkan dari keterangan salah
seorang dokter, bahwa ruas-ruas jari tangan ketika digunakan untuk makan
itu mengeluarkan sejenis cairan yang membantu proses pencernaan makan
dalam lambung. Seandainya informasi ini benar maka ini adalah di antara
manfaat mengamalkan sunnah di atas. Jika manfaat secara medis tersebut
memang ada, maka patut disyukuri. Akan tetapi jika tidak terjadi, maka
hal tersebut tidaklah menyusahkan kita karena yang penting bagi kita
adalah melaksanakan perintah Nabi.” (Syarah Riyadhus Shalihin Juz VII
hal 243-245)
. . . agar tidak tumbuh sifat sombong dalam diri dengan meremehkan makanan yang sedikit dan menurut kebiasaan dianggap sesuatu yang remeh.
Makna Barakah
Adanya barakah menjadi alasan yang disebutkan dalam perintah menjilati tangan dan piring seusai makan. Lalu apa makna barakah?
Pada
dasarnya barakah bermakna kebaikan yang melimpah, berkembang, dan
bertambah serta lestari kebaikan tersebut. Sedangkan maksud makanan yang
berbarakah adalah makanan yang bisa mengenyangkan, tidak menimbulkan
gangguan pada tubuh, dan menjadi sumber energi untuk berbuat ketaatan,
(sebagaimana yang disebutkan oleh Imam al Nawawi)
Mencuci tangan sesudah makan
Pada
hadits di awal tidak disebutkan cara khusus membersihkan tangan sesudah
makan dengan mencuci. Yang disebutkan cukup mengusap (mengelap)nya.
Sedangkan menjilatinya atau meminta orang lain untuk menjilatinya
sangat-sangat diperintahkan. Bahkan Ibnu Hazm rahimahullah berpendapat hal itu wajib.
Namun, dalam beberapa riwayat yang lain terdapat anjuran dan contoh dari Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam dan
para shahabat tentang mencuci tangan sesudah makan. Namun,
pelaksanaannya sesudah sesudah menjilati tangan dan piring yang
digunakan makan.
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan, bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barang
siapa yang tidur dalam keadaan tangannya masih bau daging kambing dan
belum dicuci, lalu terjadi sesuatu, maka janganlah dia menyalahkan
kecuali dirinya sendiri.” (HR. Ahmad, no. 7515, Abu Dawud, 3852 dan lain-lain, hadits ini dishahihkan oleh al-Albani)
Dalam riwayat lain, Abu Hurairah menyatakan, bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam
pernah makan belikat kambing. Sesudah selesai makan beliau
berkumur-kumur, mencuci dua tangannya baru melaksanakan shalat. (HR.
Ahmad, 27486 dan Ibn Majah 493, hadits ini dishahihkan oleh al-Albani)
Abban
bin Utsman bercerita, bahwa Utsman bin Affan pernah makan roti yang
bercampur dengan daging, setelah selesai makan beliau berkumur-kumur dan
mencuci kedua tangan beliau. Lalu dua tangan tersebut beliau usapkan ke
wajahnya. Setelah itu beliau melaksanakan shalat dan tidak berwudhu
lagi. (HR. Malik, no. 53) Wallahu A'lam bi al Shawaab. . . . sumber : disini